Thursday, April 21, 2016

Selamat Hari Kartini!

Kenapa cuma Kartini?
Males saya melihat bahasan-bahasan ini. Yeaa..Kartini is a very great woman at that time, and so other women. Yasudahlah..yasudahlah...

Yang pasti saya mau bahas Kartini masa kini yang jadi inspirasi saya, yaitu: Dian Sastro! Haha..

Saya pertama kali mengenal mbak Dian (SKSD banget) waktu saya suka nebeng baca majalah Gadis punya kakak saya, waktu saya masih SD kelas 6. Saat itu Dian jadi finalis Gadis Sampul tahun 1996, terus menang jadi juara deh. Sebagai pembaca Gadis, saya terbiasa membaca cover to cover, juga ketika ada Dian Sastro di situ.

Kemudian, tibalah masanya film AADC. Mbak dian disebut sebagai tokoh kebangkitan film Indonesia. Deuh..asa lebay. Tapi saya tetep ngefans. Waktu saya kelas 3 SMA, seorang teman sekelas, cowok, memasang poster besar Dian Sastro di kelas.

Ketika saya hijrah ke Jatinangor, ada seorang teman cerita, dia ketemu Dian Sastro di salah satu toilet kampus UI, setelah antrian cewek-cewek menggedor salah satu bilik yang lama banget orangnya ga keluar-keluar. Begitu keluar, ternyata Dian Sastro keluar..haha..ga penting sih ini cerita.

Terus tiba saat ketika Dian Sastro akan menikah. Oh..nikah sama anak konglomerat yang hartanya ga akan habis 7 turunan..normal lah sebagai artis. Tapi kok makin lama mbak Dian makin keren. Punya anak sambil terus lanjut kuliah S2, buka usaha ini-itu, punya inisiatif beasiswa Dian Sastro, dll, dll.

People will say, "ya iyalah dia bisa melakukan apapun yang dia mau..lah suaminya tajir..mungkin ada selusin helper dan nannys yang bisa bantu dia selama kerja." That´s might be true. Tapii...kemudian beberapa hari lalu saya iseng membaca kisah hidupnya. Benar bahwa kakeknya adalah salah satu tokoh nasional pejuang kemerdekaan, mantan menteri, dan lain-lain- Tapi..Dian tidak tumbuh dalam gelimang harta dan berbagai kemudahan atau privilege. Dia tumbuh dalam keluarga tidak harmonis, orang tua bercerai sejak dia kecil (waktu kelas 3 SD). Ibunya berjuang sebagai single mother untuk membesarkan dan membiayai Dian. Ketika umur 13 tahun, sang ayah pergi untuk selamanya. Sang Ibu lah yang kemudian mendidik Dian begitu keras, tentang perjuangan hidup.

Pada tau ga kalo Dian waktu kuliah S2, ngerjain tugas kuliah sambil nyusuin anaknya malem2? Nanny pasti ada lah di rumahnya..tapi nyusuin malem-malem kan ga bisa digantikan oleh siapapun. Ngerjain tugas kuliah juga tentu ga bisa digantikan oleh siapapun, kecuali kalo anda orang bodrek yang cuma mau dapet gelar doang. 

Nah, dari kisah hidupnya, saya jadi makin paham, kenapa Dian terlihat begitu kuat, begitu keren. Sebagai seorang ibu dengan dua anak, sebagai istri, sebagai artis, sebagai pengusaha.

Suami Dian datang dari keluarga Sutowo yang ningrat dan tajir. Tapi keluarga intinya pun bukanlah keluarga harmonis. Bapaknya punya simpanan, dll. Tipikal kehidupan keluarga super tajir Indonesia. Saya yakin, sebagai dua orang yang berlatar belakang keluarga bercerai, mereka akan lebih bijak dalam rumah tangganya. Ini sekaligus bantahan saya untuk orang tua-orang tua yang melarang anaknya menikah dengan orang yang orang tuanya bercerai. Hellow..memangnya orang itu bisa milih untuk terlahir di keluarga yang harmonis atau tidak? 

Yasudahlah ya..Saya cuma mau bilang, semoga saya tetap semangat menjalani hari-hari dan kewajiban saya, sebagai ibu, sebagai istri, sebagai mahasiswa, sebagai perempuan yang ingin menjalani pekerjaan sesuai passion, sebagai ibu dan istri yang mau keluarganya hidup sehat, dll, dll... Kalo Mbak Dian aja bisa, kenapa saya ngga? *hihihi. Anak-anak yang kuat lahir dan dididik oleh ibu-ibu yang kuat. *ga ada hubungannya dengan stay at home atau working mom, keluarga cerai, atau ga cerai*. So, stay strong, ladies!

Back to the title, Selamat Hari Kartini, perempuan Indonesia! You are all awesome ;)

Saturday, April 16, 2016

ICH - Chairil Anwar*

Wenn meine letzte Stunde naht
Soll niemand mich beweinen
Auch du nicht

Wozu die Tränen und die Klagen

Ich bin ein wildes Tier
Das verstoßen ward von seinem Rudel

Auch wenn Kugeln meine Haut durchbohren
Stürm' ich doch weiter wütend voran

Renne trotz Wunden und Gift
Renne
Bis aller Schmerz und alles Leid vergehen

Dann ist mir erst recht alles egal

Leben will ich noch tausend Jahr'.

(März 1943)
übersetzt von Berthold Damshäuser




*aus: Berthold Damshäuser und Ramadhan K.H. (Hrsg.): Gebt mir mein Indonesien zurück! - Eine Anthologie moderner indonesischer Lyrik.

Thursday, April 7, 2016

Belajar Bahasa Jerman #2

Belajar bahasa Jerman susah ga sih? Sebagai orang Indonesia dan orang Sunda yang tata bahasa nya ga rumit, belajar Bahasa yang kata benda nya terdiri dari tiga jenis (maskulin, feminin, dan netral) tentu cukup membingungkan. Belum lagi bentuk kata kerja yang selalu berubah-ubah mengikuti waktu atau pasif-aktifnya. Plus aturan kasus dativ-akkusativnya. Hadeuh..tulung!!

Belajar bahasa Jerman ga cuma bisa dilakukan di ruangan kelas yang membosankan, tapi bisa dimana saja. Misalnya, beberapa hal yang saya alami akhir-akhir ini.

Kejadian #1
Saya sedang menunggu bis yang sudah terlambat beberapa menit dari jadwal seharusnya. Di halte tersebut ada seorang nenek yang juga sedang menunggu bus yang sama. Mungkin karena bosan menunggu bus datang, nenek tersebut mulai berbicara basa-basi pada saya. Dia berbicara tentang jalanan depan kami yang sangat berisik..bahwa jika berjalan kaki, dia selalu menghindari jalan besar karena tidak mau mendengar berisiknya kendaraan yang lalu lalang. Saya menimpali, bahwa dari apartemen saya juga suara ramai jalanan cukup terdengar. Kemudian kami masih mengobrol tentang hal-hal remeh temeh lainnya. Bahwa nenek itu lebih suka jalan-jalan di hutan yang tenang, dan lain-lain. Ketika bus sudah terlihat, nenek tersebut bertanya,

Nenek  : "Wie lange haben Sie schon hier in Osnabrück?" (berapa lama anda sudah tinggal di Osnabrück?)
Saya    : "Ich bin schon hier fast 2 Jahre" (saya sudah tinggal di sini selama hampir dua tahun).
Nenek :  "Aber Ihre Deutsch ist schon sehr gut. Sie können schon mit uns unterhalten." (tapi bahasa Jerman anda sudah bagus. Anda sudah bisa mengobrol dengan kami).
Saya   : (dalam hati: ahseeek). Danke *sambil senyum-senyum ge-er* :D

Kejadian #2
Tadi pagi saya berangkat sendiri naik bis dan duduk sebelahan sama seorang ibu umur 50an yang seringkali menyapa Alif (kalo saya naik bis sama dia). Kami duduk sebelahan dan mulai ngobrol basa-basi tentang cuaca, tentang si Alif yang udah masuk Kindergarten, dll. Mendekati tujuan akhir kami, dia bertanya dari mana asal saya dan sudah berapa lama di Jerman. Percakapan yang hampir sama dengan atas kembali berulang. Ahseek *kembali senyum-senyum ge-er*. Obrolan berlanjut sedikit tentang komunitas Indonesia,

Saya      : Es gibt eigentich viele IndonesierInnen in Deutschland, insbesondere in größe Städte wie in Berlin, Hamburg, Bonn, Köln. Leider nicht zu viele in Osnabrück. Aber ja..gut Ich kann auch mit andere Leute befreunden." (Sebenarnya banyak orang Indonesia tinggal di Jerman, terutama di kota besar seperti di Berlin, Hamburg, Bonn, Köln. Sayangnya tidak terlalu banyak di Osnabrück. Tapi tidak apa-apa, saya jadi bisa berteman dengan orang-orang lainnya).

Ibu baik hati  : "Ja..und auch nicht gut wenn man nur mit der Leute aus eigenem Land immer zusammen, dann verbessert die Sprache auch nicht." (Ya..dan kalo orang mainnya cuma sama orang yang senegara juga ga bagus, bahasa Jermannya pun tidak akan bertambah bagus).

Tuh kan..walopun merasa diri ga Pede kalo ngomong Jerman, tapi ternyata kata orang udah lumayan. Cuma butuh banyak latihan aja buat lebih memperlancar. Jangan takut diketawain, biasanya orang malah menghargai usaha kita untuk ngomong pake bahasa mereka.

Nah kalo mau lancar berbahasa Jerman, jangan lupa dipakai bahasanya..biar ga menguap. Percuma kan kita udah nguasain grammar kalo ga pernah latihan ngomong.

Perjalanan belajar bahasa Jerman saya pernah ditulis juga di sini dan di sana.

Monday, April 4, 2016

My two cents about traveling


Ada hal lucu yang akhir-akhir ini bikin saya senyum-senyum. Hal ini berkaitan dengan traveling atau melakukan perjalanan. Sejak 10-15 tahun terakhir, traveling sebagai satu aktifitas benar-benar booming. Terutama di kalangan kelas menengah. Saya dan banyak teman-teman, blogger, serta mayoritas manusia di seluruh dunia akan mengakui traveling sebagai hobi dan sebagai passion utama. Lebih spesifik lagi, banyak yang mengaku punya hubungan khusus dengan traveling. Seorang teman asal Vietnam mengaku sangat menyukai traveling karena kakeknya dulu juga suka traveling. 

Ada lagi yang bilang, traveling itu cara hidup, bukan gaya hidup. Adalagi quote mengatakan, "The World Is a Book and Those Who Do Not Travel Read Only One Page." Serta banyak banget orang membagi quote-quote semacem: “Merugilah orang-orang yang tidak melakukan perjalanan.” Yang kemudian banyak orang merasa, kalo udah traveling kemana-mana berarti hebat. Atau banyak teman-teman di kampong halaman yang memandang hebat orang yang merantau jauh, apalagi sampai ke luar negeri.

Sebenarnya sih tidak ada yang aneh dengan mengakui traveling sebagai hobi. Tapi yang menurut saya agak lucu, banyak orang yang merasa hanya dia saja yang punya hobi atau punya hubungan khusus dengan traveling. Padahal, mayoritas manusia kelas menengah di dunia−yang setidaknya ga perlu mikirin day to day survival− hobi utamanya ya traveling, bahkan sejak jaman belum ada pesawat terbang. Jadi punya hobi traveling itu biasa aja bro, sis.

Saya kemudian kepikiran bagaimana dengan orang-orang yang ga punya uang untuk traveling? Bagaimana dengan keluarga-keluarga yang cuma punya uang untuk makan hari itu? Bagaimana dengan orang yang punya keterbatasan fisik atau sedang sakit? Masihkah anda mau membagi kata-kata “those who do not travel read only one page of a book”? Apalagi posting quotenya dibarengi dengan posting foto-foto hasil liburan terbaru.

Kalo ditelaah lebih jauh dalam diri sendiri, seringkali saya bertanya-tanya. “Apa sih tujuan lo traveling? Buat gaya-gayaan di sosmed kah? Atau buat ngisi blog biar kemudian orang terkagum-kagum sama isi blog lo? Mau pamer daftar negara yang pernah dikunjungi?“ #jleb. Waktu masih jaman ababil di sosial media, beberapa hal di atas benar adanya pernah saya rasakan (yakin lo sekarang ngga lagi? #uhuk).

Jujur aja, sekarang saya lebih realistis. Saya melakukan perjalanan karena ingin mengenal tempat, orang-orang, makanan dan kehidupan lain di tempat tujuan. Saya melakukan perjalanan karena kemudian ingin menulisnya di blog saya dan teman, agar bisa menghasilkan uang..haha (kurang realistis apa coba?). Saya melakukan perjalanan untuk mengenalkan kepada anak saya bahwa dunia tidak hanya selebar batas-batas geografis, agama, status sosial dan ras.


Tapi perjalanan yang saya maksud pun bukan berarti perjalanan jauh naik bis, kereta, mobil, atau pesawat terbang. Perjalanan ini ga harus selalu ngabisin duit tabungan hasil kerja berbulan-bulan. Atau ngabisin jatah yang harusnya dipake buat bayar utang atau buat tabungan pensiun #eh. Atau ngabisin duit yang seharusnya buat tabungan pendidikan anak (#emakemakbanget). Bahkan sekedar jalan-jalan di sekitar rumah atau di taman saya anggap sudah cukup. Banyak hal sederhana yang bisa dijadikan bahan mengobrol dengan anak. Tentang anak-anak lain yang main di playground, tentang bebek-bebek di danau, tentang bentuk awan yang terlihat seperti bola, dan lain-lain.


Terus intinya mau ngomong apa sih? Ya ga ada sih..Cuma catatan pengingat buat diri sendiri biar ga takabur. Biar ga lupa sisihkan uang buat zakat dan bayar utang. Biar ga lupa ngisi tabungan pendidikan anak dan tabungan pensiun. Biar rajin kerja dan selesaikan kewajiban, lalu kemudian bisa menikmati waktu untuk hal-hal yang disukai seperti baca buku, makan enak, dan tidur. #teuteup :D.  
 
 Oh ya..dan jangan lupa untuk mampir ke blog saya dan teman-teman ya ;).