Sunday, June 4, 2017

Happy Birthday to Me

Hari ini adalah hari jadi kelahiran saya yang ke-32. Wuih..udah setua itu loh..haha..
Saya sengaja menyetting tanggal kelahiran saya untuk tidak ditampilkan di sosial media manapun. alasan sederhananya, saya tidak mau harus berkewajiban mengucapkan selamat ulang tahun balasan kepada orang-orang yang mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya. Jika ada yang mengucapkan selamat ulang tahun, semoga karena dia memang benar-benar ingat.

Yang pertama  kali mengucapkan adalah seorang teman semasa kuliah, Rifki. Ah..luar biasa..tampaknya dia punya reminder khusus untuk tanggal-tanggal ulang tahun kawan-kawannya. Setelah itu, tak lama kakak saya menelpon dengan Facetime. Dia bilang ke Alif "Alif, kamu tahu ga ibu kamu hari ini ulang tahun loh?". Si Alif melihat ke arah saya dan bertanya "Iya Ibu, kamu ulang tahun?" Setelah diiyakan dia bilang "Ayo Ibu..", yang saya jawab "Ayo ke mana?". Dia kembali menjawab, "Ayo..ini kuenya (pura-pura kue dari lego kereta)", lalu menambahkan dengan bilang "Aku kasih kamu buku yang bagus", saya bertanya mengkonfirmasi "Bukunya buat siapa?" Si Alif menjawab "Buat kamu bukunya, kan kamu ulang tahun". Lalu saya menambahkan, "Mana bukunya?. Alif: "Belum ada bukunya, harus beli dulu..ayo..kita beli" :)) Makasih ya nak, Alif anak Ibu yang baik. Semoga Ibu cepet dapet kerja, biar bisa merayakan ultah ibu sama-sama sambil makan kue dan beli buku :*

Sepenggal do´a di hari kelahiran, "Ya Allah, berikanlah hamba kekuatan sabar yang tak terbatas, hati yang luas untuk lebih memahami orang lain, terutama orang-orang terdekat. Berikan hamba keteguhan hati, kebijaksanaan, kesabaran dan kasih sayang untuk menghadapi Alif. Ya Allah, semoga sisa umur hamba bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat. Amin." 

Berikut ini tulisan yang saya draft pada hari ulang tahun saya tahun lalu. Karena males beresin, selama setahun ngendon di draft :))

4 Juni 1985 jam 21.00
Di rumah bu bidan di kecamatan sebelah, lahirlah seorang anak perempuan yang merupakan anak ketiga. Saat itu, melahirkan di bidan sudah masuk kategori modern, dibanding melahirkan di paraji (dukun beranak. Kakak-kakaknya yang saat itu berumur 2 dan 4 tahun, semua perempuan. Nah..kakaknya yang pertama, lahir dengan bantuan paraji :D.

Walaupun bukan anak pertama, kebahagiaan tetap dirasakan oleh ayah ibunya.

Anak perempuan itu diberi nama hanya satu kata. Tidak lazim untuk anak-anak yang lahir saat itu. Bahkan kedua kakaknya punya nama panjang. Nama itu adalah pemberian dari kakeknya, ayah dari ibunya yang rajin tirakat dan konon punya golok sakti yang bisa pindah sendiri mengikuti yang punya. Sang kakek menemukan nama itu setelah tirakat dan berpuasa. Orang tua nya berniat untuk menambahkan nama belakang untuk si bayi perempuan, biar namanya lebih bagus dan panjang :p. Sayangnya sang kakek menolak.. Katanya, masa depan anak ini akan lebih baik kalo namanya tidak ditambah. Orang tua si bayi pun nurut. Saat itu, kakek dan orang tuanya tidak menyadari..bahwa nama yang hanya satu kata itu bisa membingungkan orang-orang di negeri lain tempat si bayi perempuan kelak merantau..

Sesudah lulus dari ST (Sekolah Teknik/STM, saat ini SMK), ayahnya diajak bekerja oleh sang paman di kilang minyak perusahaan minyak nasional. Sementara sang ibu, yang selepas SMP ngeyel melawan bapaknya tidak mau masuk sekolah agama, memilih masuk SPG (sekolah pendidikan guru). Selepas dari SPG, dia mengajar di SMP negeri terbaik di Kabupaten dan tidak pernah pindah hingga saat ini.

Sang ibu biasanya mengajar dari jam 7 sampai jam 1 siang. Sementara sang ayah, yang tempat kerjanya harus ditempuh selama 1,5 jam perjalanan, biasanya pulang dua atau tiga hari sekali. Ketika tidak pulang, sang ayah menginap di mess karyawan. Ketika sang ibu mengajar, si bayi perempuan biasanya di rumah dengan pengasuh. Sama dengan kedua kakaknya, yang juga tumbuh dengan bantuan para pengasuh. Para pengasuh datang dan pergi berganti. Ketika si bayi perempuan beranjak balita, dia pernah jadi korban kekerasan fisik salah satu pengasuh. Sang ibu menemukan banyak luka bekas cubitan keras dan tajam di bagian-bagian yang tertutup baju. Si pengasuh tentu langsung dipulangkan setelah didamprat habis-habisan. Duh..ternyata working mom problem yang satu ini bukan hal baru ya..

Ketika tidak ada pengasuh dan sang ibu harus mengajar, seringkali si balita perempuan ikut bermain di taman kanak-kanak di seberang sekolah tempat ibunya mengajar, di mana kakaknya yang kedua berada (kakak pertama saat itu kelas 1 SD). Beberapa kali si balita perempuan keluar masuk taman kanak-kanak, sebelum akhirnya jadi penghuni permanen setelah berusia 5 tahun. Tepat ketika berumur 6 tahun, dia masuk ke SD yang sama di mana dua kakaknya dan sepupunya bersekolah. Sebuah SD kecil di kelurahan yang bisa dicapai dengan jalan kaki selama 15-20 menit. Adik bungsunya lahir tahun 1993, tepat ketika dia berumur 8 tahun.

Ketika dia kelas 4 SD, terjadi peristiwa besar yang mengubah hidup dan keluarganya. Sang ayah kehilangan pekerjaan. Saat itu, kakak pertamanya sudah kelas 2 SMP, kakak kedua kelas 6 SD. Cerita lanjutannya bisa dibaca di sini

Thursday, April 20, 2017

Ngobrol Sama Alif

Satu bulan terakhir ini Alif selalu ikut dengan saya ke mana-mana, termasuk melayat sepupu dan tante yang meninggal. Bukan hanya melayat ke rumah duka, bahkan hingga ke pemakaman untuk penguburan. Alif sempat melihat ketika kedua jenazah terbujur kaku tertutup samping (jarik batik).

Setelah itu, Alif juga sering bertanya-tanya. "Ayah kamu dikubur ya?", "Rumahnya di bawah tanah ya?", "Di bawah tanah bisa bernafas ngga?", dsb. Saya selalu coba jelaskan semampu Saya, mencoba ga berlebihan untuk anak seumur dia.

Sempat merasa bersalah sih.. Apa terlalu cepat buat Alif diperkenalkan konsep meninggal dan dikubur? Ah but that's reality, pikir saya kemudian.

Hingga malam ini, kami saling bertukar cerita sebelum tidur. Saya "bercerita" bahwa saya sayang sekali sama Alif😆 (maafkan emak yang ceritanya super pendek). Sementara Alif bercerita soal pertarungan antara robot, jägger (pemburu), singa, dan manusia, tentang tembak-menembak dan makan-dimakan. Saya tidak terlalu suka kisah yang didalamnya ada kejadian saling menyakiti seperti itu, dan selalu saya sampaikan ke Alif. Bahwa tembak-menembak itu tidak baik karena yang tertembak akan merasa sakit, bahwa memburu dan membunuh binatang itu tidak diperbolehkan, bahwa sebaiknya semua orang berteman dan saling membantu.

Terdengar utopis, namun saya berusaha agar hal-hal kecil yang saya sampaikan ini tertanam di hati dan pikirannya. Si Alif ini sehari-harinya tidak jauh berbeda dari anak laki-laki kebanyakan, yang menyukai Starwars, superhero, robot, dan lain-lain. Walaupun saya tidak pernah memperkenalkan, mengajak menonton, ataupun membelikan mainan-mainan terkait ini, tetap saja dia mengenalnya melalui teman-temannya di Kindergarten dulu. Untuk tidak menanamkan maskulinitas yang kasar dan berpotensi merusak, saya berusaha memasukkan nilai-nilai yang saya yakini.

Setelah saya merespon cerita Alif dengan pesan sponsor tersebut, tiba-tiba Alif ngomong, "Bu nanti kalo sakit kita bisa meninggal ya?". Lalu kami membicarakan sesuatu dan saya berkata "Hidup manusia itu dimulai dengan lahir sebagai bayi, tumbuh jadi anak-anak kayak kamu, lalu jadi kakak-kakak, lalu jadi om-om, lalu jadi bapak-bapak, tua, dan meninggal."

Si Alif merespon dengan "Tapi aku ga mau tua.. Maunya muda aja kayak gini. Aku ga mau meninggal." Dan dilanjutkan dengan "Kalo kamu meninggal nanti aku disebelah kamu, aku mau dipeluk", "Sebelum kamu meninggal kamu bilang gitu dulu ya..",
"Kalo aku meninggal duluan aku sendirian dong.. Aku gamau.. Aku mau disebelah kamu ya", "Kalo meninggal kita bisa hidup lagi ngga?", dsb. Setelah bertanya, dia lalu nangis sambil bilang "tapi aku ga mau meninggal.. Mau hidup aja."

Saya bingung harus merespon apa. Akhirnya saya bilang, "Iya nak. Tapi kamu ga perlu terlalu memikirkan itu. Lakukan aja yang terbaik yang kita bisa: belajar, bekerja, mengaji, sholat, membantu orang. Setelah meninggal, kita akan dihidupkan lagi. Kalo kita termasuk orang-orang baik, kita bisa ketemu lagi." #duh #berat.

Setelahnya saya masih merenungkan pembicaraan kami. It seems too soon for a 4,5 years old to talk about this topic. Ah.. Mungkin besok-besok ga usah ikut dulu melayat atau ziarah. It is actually a good start to give him understanding about life, after life, religion. Tapi jangan sampe anaknya trauma😢.

Saturday, February 11, 2017

Memaafkan Masa Lalu, Memaafkan Diri Sendiri

Karena saya dan Marq gagal menemukan ide untuk menulis tema dari #1minggu1cerita minggu minggu ini tentang "Forgiveness" di blog jalan-jalan kami Jejak Katumbiri, kami memutuskan untuk menulis di blog masing-masing. Blog pribadi saya seringnya sih memang tempat curhat :D.
---------------------------------------------

Ok..let the story begins........

Dari salah satu buku parenting yang pernah saya baca, anak yang bahagia mempunyai orang tua yang bahagia. Siapa tak ingin mempunyai anak yang bahagia? Di antara saya dan suami, saya rasa saya yang lebih menginginkan agar Alif tumbuh menjadi anak yang bahagia dengan hidupnya nanti. Mengapa? Siap-siap ya.. It's gonna be a long..long story😁

Waktu saya lahir, ayah dan ibu saya mempunyai pekerjaan tetap yang terhitung lumayan. Ayah bekerja di perusahaan minyak nasional dan ibu saya guru sekolah menengah pertama. Hidup terasa baik-baik saja. Ibu saya adalah tipe dominan, aktif mengatur rumah, aktif dalam kegiatan sosial, dan lain-lain. 

Hingga suatu masa, saat itu saya kelas tiga SD, terjadi sesuatu yang mengubah semuanya. Yang pasti, sesuatu yang terjadi saat itu sama sekali bukan karena sesuatu yang dilakukan oleh ayah atau ibu saya, bukan salah mereka. Kira-kira idenya serupa dengan konsep original sin yang dipahami oleh umat kristiani.

Waktu berlalu. Selanjutnya setelah rentetan peristiwa itu, Ayah tak lagi bekerja di perusahaan minyak nasional tempat beliau bekerja seumur hidupnya. Untung keluarga kami selalu punya sawah. Kakek dan nenek dari ayah dan ibu saya memiliki cukup lahan untuk bertani. 

Saya merasa kondisi perekonomian keluarga kami tidak berubah banyak (ini pemahaman dari kacamata anak SD). Saya dan kakak-kakak saya tetap bisa mengambil kursus ini-itu. Tak lama kemudian, kakak saya yang tertua melanjutkan SMA ke Bandung. Yang berbeda, ayah dan ibu saya makin sering bertengkar. Ibu semakin lama berada di luar rumah untuk bekerja. Selain mengajar, beliau menjalankan berbagai bisnis. Memasok beras, telur asin, dan lain-lain. Lalu apakah ayah saya tidak melakukan apa-apa? Ayah saya tetap pergi ke sawah, mengurus peternakan ayam kecil, dan lain-lain.

Tibalah saatnya kelulusan Saya dari SMP. Ibu mendorong saya untuk melanjutkan sekolah ke Bandung, demi kualitas pendidikan yang lebih baik katanya. Ibu saya memang selalu mempunyai mimpi yang besar untuk anak-anaknya, walaupun Beliau harus mengorbankan dirinya. Saat itu beliau menanggung biaya kuliah kakak saya yang tertua, kakak kedua saya, dan saya. Saat itu hubungan ayah dan ibu saya semakin parah.

Hingga suatu hari Idul Adha ketika saya kelas 2 SMA, kami sekeluarga pergi makan bakso di salah satu tempat makan bakso yang populer di kota kami. Ada yang aneh. Karena hubungan yang tidak baik antara ayah dan ibu saya, kami hampir tidak pernah lagi keluar bersama sekeluarga. Biasanya ibu hanya mengajak kami, anak-anaknya. Firasat saya terbukti. Setelah makan bakso bersama, ayah dan ibu resmi bercerai. Sedihkah saya? Walaupun selama ini saya tahu hal ini cepat atau lambat akan terjadi, tetap saja saya sedih.



Setelah bercerai ibu saya tetap berusaha maksimal mengurus dan membiayai anak-anaknya. Sayangnya, menurut perasaan kami, ibu terlalu dominan juga dalam hidup anak-anaknya setelah kami mandiri. Pilihan pekerjaan, tempat tinggal, pengasuhan anak, dll menjadi contoh hal-hal dimana beliau cukup dominan. Dan hal itu seringkali menimbulkan konflik di antara kami. Sementara Ayah saya, hingga beliau meninggal, lebih bersikap terbuka terhadap pilihan kami. 

Atas segala yang terjadi, Saya tidak pernah menyalahkan orang tua saya. Saya paham, betapa sulitnya keadaan bagi mereka. I always know they were trying their best. Jadi saya menyalahkan siapa? Tuhan? Rasanya saya tak sekurang ajar itu. Kadang saya membenci pemerintah yang berkuasa saat itu, menuduh mereka lah penyebab hancurnya keluarga Saya (mungkin yang akhirnya secara tidak sadar mengarahkan saya untuk menggeluti ilmu politik😒).

Semakin lama saya semakin memahami, tidak ada yang bersalah. It just happen alias sudah garis hidup kami. Efeknya, karena saya tidak menemukan pihak lain yang seharusnya bertanggung jawab, secara tak sadar saya membebankan semuanya pada diri sendiri. Setelah sekian lama, lambat laun saya menyadari, ternyata satu-satunya pihak yang harus saya maafkan adalah diri saya sendiri.

Karena setelah menikah dan punya anak, saya harus mengakui bahwa ternyata semua pengalaman masa lalu meninggalkan jejak yang cukup dalam. Biasanya saya selalu menyangkal. I said, I am OK eventhough I come from a broken family. Secara kasat mata kehidupan saya memang baik-baik saja. Saya berhasil lulus kuliah dan tidak menjadi beban sosial bagi masyarakat, saya ga jadi pemakai narkoba dsb. But I am not that OK. It affects me a lot.

Seringkali, saya bersikap sangat negatif, minimal pada diri saya sendiri dan orang-orang terdekat. Sikap perfeksionis saya pun seringkali menghambat saya untuk berkarya maksimal di bidang saya. Hal lainnya, saya juga jadi orang yang sering mengkhawatirkan masa depan. Saya takut akan ketidakstabilan. Setelah sekian lama, lambat laun saya menyadari, ternyata satu-satunya pihak yang harus saya maafkan adalah diri saya sendiri.

Bukannya saya tidak berusaha menjadi lebih positif. Sebagai ibu, saya sudah berkomitmen untuk membebaskan anak saya memilih profesi masa depannya. Saya pun berusaha tidak menjadi tiger mom yang super perfeksionis. Saya berjanji untuk lebih memperhatikan perasaan dan keinginan-keinginan anak saya. Menurut buku parenting tersebut, "pertama-pertama orang tua harus menyelesaikan utang-utang (apapun itu) masa lalunya agar bisa menjadi orang tua yang bahagia, dan mendidik anak-anak yang bahagia."

Yang paling sering muncul memanggil saya kembali ke tengah cahaya adalah kesadaran bahwa saya tidak bisa mengubah masa lalu. Masa lalu saya dan keluarga saya sudah begitu adanya. There's still one thing I can do. To accept and forgive what happen in the past and move on. To be a happier person than I used to be. Doakan saya berhasil ya 😌.