Karena saya dan Marq gagal menemukan ide untuk menulis tema dari #1minggu1cerita minggu minggu ini tentang "Forgiveness" di blog jalan-jalan kami Jejak Katumbiri, kami memutuskan untuk menulis di blog masing-masing. Blog pribadi saya seringnya sih memang tempat curhat :D.
---------------------------------------------
Ok..let the story begins........
Dari salah satu buku parenting yang pernah saya baca, anak yang bahagia mempunyai orang tua yang bahagia. Siapa tak ingin mempunyai anak yang bahagia? Di antara saya dan suami, saya rasa saya yang lebih menginginkan agar Alif tumbuh menjadi anak yang bahagia dengan hidupnya nanti. Mengapa? Siap-siap ya.. It's gonna be a long..long story
---------------------------------------------
Ok..let the story begins........
Dari salah satu buku parenting yang pernah saya baca, anak yang bahagia mempunyai orang tua yang bahagia. Siapa tak ingin mempunyai anak yang bahagia? Di antara saya dan suami, saya rasa saya yang lebih menginginkan agar Alif tumbuh menjadi anak yang bahagia dengan hidupnya nanti. Mengapa? Siap-siap ya.. It's gonna be a long..long story
Waktu saya lahir, ayah dan ibu saya mempunyai pekerjaan tetap yang terhitung lumayan. Ayah bekerja di perusahaan minyak nasional dan ibu saya guru sekolah menengah pertama. Hidup terasa baik-baik saja. Ibu saya adalah tipe dominan, aktif mengatur rumah, aktif dalam kegiatan sosial, dan lain-lain.
Hingga suatu masa, saat itu saya kelas tiga SD, terjadi sesuatu yang mengubah semuanya. Yang pasti, sesuatu yang terjadi saat itu sama sekali bukan karena sesuatu yang dilakukan oleh ayah atau ibu saya, bukan salah mereka. Kira-kira idenya serupa dengan konsep original sin yang dipahami oleh umat kristiani.
Waktu berlalu. Selanjutnya setelah rentetan peristiwa itu, Ayah tak lagi bekerja di perusahaan minyak nasional tempat beliau bekerja
seumur hidupnya. Untung keluarga kami selalu punya sawah. Kakek dan
nenek dari ayah dan ibu saya memiliki cukup lahan untuk bertani.
Saya merasa kondisi perekonomian keluarga kami tidak
berubah banyak (ini pemahaman dari kacamata anak SD). Saya dan kakak-kakak saya tetap bisa mengambil kursus
ini-itu. Tak lama kemudian, kakak saya yang tertua melanjutkan SMA ke
Bandung. Yang berbeda, ayah dan ibu saya makin sering bertengkar. Ibu
semakin lama berada di luar rumah untuk bekerja. Selain mengajar, beliau
menjalankan berbagai bisnis. Memasok beras, telur asin, dan lain-lain.
Lalu apakah ayah saya tidak melakukan apa-apa? Ayah saya tetap pergi ke
sawah, mengurus peternakan ayam kecil, dan lain-lain.
Tibalah saatnya kelulusan Saya dari SMP. Ibu mendorong saya
untuk melanjutkan sekolah ke Bandung, demi kualitas pendidikan yang
lebih baik katanya. Ibu saya memang selalu mempunyai mimpi yang besar untuk
anak-anaknya, walaupun Beliau harus mengorbankan dirinya. Saat itu
beliau menanggung biaya kuliah kakak saya yang tertua, kakak kedua saya,
dan saya. Saat itu hubungan ayah dan ibu saya semakin parah.
Hingga suatu hari Idul Adha ketika saya kelas 2 SMA, kami
sekeluarga pergi makan bakso di salah satu tempat makan bakso yang
populer di kota kami. Ada yang aneh. Karena hubungan yang tidak baik
antara ayah dan ibu saya, kami hampir tidak pernah lagi keluar bersama
sekeluarga. Biasanya ibu hanya mengajak kami, anak-anaknya. Firasat saya
terbukti. Setelah makan bakso bersama, ayah dan ibu resmi bercerai.
Sedihkah saya? Walaupun selama ini saya tahu hal ini cepat atau lambat
akan terjadi, tetap saja saya sedih.
Setelah bercerai ibu saya tetap berusaha maksimal mengurus dan membiayai
anak-anaknya. Sayangnya, menurut perasaan kami, ibu terlalu dominan juga
dalam hidup anak-anaknya setelah kami mandiri. Pilihan pekerjaan,
tempat tinggal, pengasuhan anak, dll menjadi contoh hal-hal dimana
beliau cukup dominan. Dan hal itu seringkali menimbulkan konflik di
antara kami. Sementara Ayah saya, hingga beliau meninggal, lebih
bersikap terbuka terhadap pilihan kami.
Atas segala yang terjadi, Saya tidak pernah menyalahkan
orang tua saya. Saya paham, betapa sulitnya keadaan bagi mereka. I
always know they were trying their best. Jadi saya menyalahkan siapa?
Tuhan? Rasanya saya tak sekurang ajar itu. Kadang saya membenci pemerintah yang berkuasa saat itu, menuduh mereka lah penyebab hancurnya keluarga Saya (mungkin yang akhirnya secara tidak sadar mengarahkan saya untuk menggeluti ilmu politik😒).
Semakin lama saya semakin memahami, tidak ada yang bersalah. It just happen alias sudah garis hidup kami. Efeknya, karena saya tidak menemukan pihak lain yang seharusnya bertanggung jawab, secara tak sadar saya membebankan semuanya pada diri sendiri. Setelah sekian lama, lambat laun saya menyadari, ternyata satu-satunya pihak yang harus saya maafkan adalah diri saya sendiri.
Karena setelah menikah dan punya anak, saya harus mengakui bahwa
ternyata semua pengalaman masa lalu meninggalkan jejak yang cukup dalam.
Biasanya saya selalu menyangkal. I said, I am OK eventhough I come from
a broken family. Secara kasat mata kehidupan saya memang baik-baik
saja. Saya berhasil lulus kuliah dan tidak menjadi beban sosial bagi
masyarakat, saya ga jadi pemakai narkoba dsb. But I am not that OK. It
affects me a lot.
Seringkali, saya bersikap sangat negatif, minimal pada diri
saya sendiri dan orang-orang terdekat. Sikap perfeksionis saya pun
seringkali menghambat saya untuk berkarya maksimal di bidang saya. Hal
lainnya, saya juga jadi orang yang sering mengkhawatirkan masa depan.
Saya takut akan ketidakstabilan. Setelah sekian lama, lambat laun saya menyadari, ternyata satu-satunya pihak yang harus saya maafkan adalah diri
saya sendiri.
Bukannya saya tidak berusaha menjadi lebih positif. Sebagai ibu, saya sudah berkomitmen
untuk membebaskan anak saya memilih profesi masa depannya. Saya pun berusaha tidak
menjadi tiger mom yang super perfeksionis. Saya berjanji untuk lebih
memperhatikan perasaan dan keinginan-keinginan anak saya. Menurut buku parenting tersebut, "pertama-pertama orang tua harus menyelesaikan utang-utang (apapun itu) masa lalunya agar bisa menjadi orang tua yang bahagia, dan mendidik anak-anak yang bahagia."
Yang paling sering muncul memanggil saya kembali ke tengah
cahaya adalah kesadaran bahwa saya tidak bisa mengubah masa lalu. Masa
lalu saya dan keluarga saya sudah begitu adanya. There's still one thing
I can do. To accept and forgive what happen in the past and move on. To
be a happier person than I used to be. Doakan saya berhasil ya
.