Sejak dinyatakan diterima di kantor Kp. Melayu pada Maret 2012, saya langsung mencari informasi how to get there. Mengingat ada teman saya di kantor Kemang yang rumahnya di daerah Kramat Jati, jadi saya cukup mendapat gambaran tentang berbagai alternatif transportasi untuk menuju ke sana (selain dibonceng suami naik motor).
Rumah saya posisinya di Depok tapi bagian yang agak melipir Bogor. Berhubung stasiun kereta terdekat lumayan jauh, praktis saya hanya bisa menggunakan satu moda transportasi: jalan raya biasa. Nah..saya mau cerita tentang salah satu angkutan yang lumayan sering saya
gunakan untuk berangkat ngantor ketika tidak diantar suami.
Saya menyebut jalur ini Jalur Ciputat. Pertama, dari rumah saya jalan kaki ke pangkalan ojeg depan komplek (5 menit). Naik Ojeg ke Jalan Raya Parung Ciputat lewat Gang Bhakti. Dari Gang Bhakti, lanjut angkot 106 (Parung-Lebak Bulus) menuju Pasar Jumat. Dari depan Sekpolwan Pasar Jumat, saya naik Koantas Bima 510 (Ciputat-Kp Rambutan). Terus yang mana yang mau dibahas?
Foto diambil dari sini |
Yang mau saya bahas yaitu sedikit tentang dunia perkopaja/permetromini/perkoantas-an di seputar Jakarta. Kenapa sih ujug-ujug pengen bahas tentang ini dan dikaitkan sama perjalanan saya dari rumah ke kantor? Soalnya saya sering dibikin ketar-ketir sama kelakuan kopaja/metromini di jalanan Jakarta selama perjalanan saya. Misalnya ketika saya naik P20. Di belakang saya muncul P20 lainnya. What happen next? Mereka balapan seolah-olah lagi di sirkuit! Balapannya serius banget loh..sampe seringkali hampir saling nabrak atau saling senggol dan bahkan nyenggol kendaraan lain yang ada di jalanan. Bahaya banget kan? Gimana penumpangnya ga deg-deg-serr tuh. Ditambah lagi supirnya seringkali cuma bocah-bocah tanggung yang belum punya SIM! hadeuuh....
Jadi ternyata mereka bertingkah seolah lagi balapan di sirkuit karena mereka rebutan penumpang. Mereka harus rebutan penumpang demi memenuhi target setoran yang harus diserahkan kepada pemilik kopaja/metromini/koantas. Sudah banyak korban yang jatuh karena kelakuan mereka di jalanan. Sampe-sampe Jokowi pun mulai mengambil tindakan serius demi memperbaiki sistem perkopaja/metromini/koantas-an.
sumber foto: dari sini |
Balik ke cerita perjalanan saya ke kantor lewat Jalur Ciputat, salah satu yang paling saya sukai dari jalur itu adalah ketika naik koantas bima 510. Sebenarnya si 510 ini berangkat dari pasar Ciputat, menuju Pasar Jumat, kemudian masuk tol di pintu tol Pondok Indah. Tapi saya selalu naik dari Pasar Jumat untuk menghindari kemacetan Ciputat. Memang lebih penuh jika saya naik dari Pasar Jumat, tapi perjalanan lebih singkat. Tinggal masuk tol, keluar tol lagi di Pasar Rebo, turun deh. Si 510 ini juga sungguh tertib di jalan..meskipun di dalemnya udah penuh umpel-umpelan, kondektur tetap mengusahakan agar pintu ditutup ketika masuk tol *tapi yang dipintu meringis kegencet* :D Jalannya pun tidak ugal-ugalan. Sangat hati-hati meskipun sebetulnya bisa ngebut di jalan tol.
Sepanjang ingatan saya, si 510 ini jumlahnya tidaklah sebanyak P20 atau metromini/kopaja/koantas lain. Sempet curiga dia punya semacem timer untuk setiap keberangkatan 510. Dan ternyata..emang bener sodara. Suatu ketika saya duduk di kursi dekat supir, dan si supir sedang ngobrol dengan seorang bapak di sebelah saya. Mereka sedang membicarakan tentang manajemen sistem kopaja/metromini/koantas di (seputar) Jakarta. *Saya memang berbakat nguping loh*
Koantas 510 di tempat ngetemnya (Pasar Ciputat). Foto dari sini |
Pak supir menjelaskan bahwa manajemen koantas 510 memang ketat. Ada pengaturan waktu untuk setiap keberangkatan, demi menghindari balapan liar rebutan penumpang di antara sesama 510. Selain itu, selalu ada evaluasi untuk perilaku supir 510 di jalan raya (tentu saja supirnya bukan bocah tanggung dan harus punya SIM). Kalo si supir ternyata ugal-ugalan dan suka kebut-kebutan, bakalan di pecat dari posisi supir. Mereka juga diharuskan mematuhi peraturan lalu lintas dan tidak melakukan pelanggaran. Keren kan? Meskipun sederhana, keteraturan yang diusahakan oleh manajemen 510 ini cukup membuat saya terpesona. Dengan pengaturan waktu keberangkatan, setiap armada punya cukup waktu untuk memenuhi target setoran tanpa harus bersaing dengan armada 510 lainnya. Mereka tidak perlu balapan demi rebutan penumpang. Mereka bisa jalan dengan tenang dan mematuhi peraturan lalu lintas.
Terus kenapa kopaja/metromini/koantas lainnya ga bisa ngikutin sistem si 510? Ah..entahlah..seandainya saya masih mahasiswa, saya bersedia membantu Pak Jokowi melakukan riset mengenai ini :D
Btw, besok mungkin terakhir kalinya saya naik si 510. Karena mulai akhir bulan saya pindah kantor lagi ke Kemang :)
Bukannya lebih enak kalo naik angkot 19 merah ya mba dr depok ke pasar rebo. Lalu nyambung lagi jika mau ke kp. Melayu. Fyi ^^
ReplyDelete